Disclaimer : Adanya kata,
‘Suntik Silikon’ di judul tulisan, bukan berarti tulisan ini mengandung informasi tentang jasa operasi
plastik, atau cara memperbesar ukuran payudara.
Silahkan beralih ke situs
lain yang menyediakan konten
begituan. Sip.
Original Photo from PIXABAY |
Seorang
pemeran dalam sebuah pertunjukan drama, dituntut untuk membuat karakter yang
dibawakannya, ‘hidup’. Supaya penonton bisa ikut mendalami cerita, dan tidak
mulai gelisah mau pulang. Kecuali rumahnya kebakaran atau burung peliharaannya
dimaling orang, ya bolehin lah pulang. Kejam amat.
Pokoknya
entah pakai improvisasi atau cara
lainnya, penonton tidak boleh sampai merasa jenuh.
Karena
biasanya kalau penonton sudah bosan dengan pertunjukan yang dibawakan, mereka
pasti mulai cari – cari kesibukan sendiri. Dari main smartphone, gigit kuku jari, isep
jempol kaki, kayang, sampai yang paling simple itu ngobrol sama teman di sampingnya.
Jujur
saja, gua paling benci sama orang yang mengobrol saat sedang berlangsungnya
sebuah pertunjukan drama. Selain mengganggu, rasanya juga barbar dan tidak etis.
Terus
juga masalahnya, ini bukan pertandingan sepak bola yang harus dikomentari.
Masa
tiba – tiba, “IYAK ! Ken Arok datang
menunggang kuda, membawa panah, menuju Ken Dedes, UMPAN CUEK ! JEGERR !
Tertancap sudah di hatinya, sodara – sodara !” Kan bego.
Kalo
boleh, mau gua bikinin kopi, ambilin asbak, terus gua gamparin satu – satu.
Biar makin banyak bahan obrolannya.
Iya,
bisa sekesal itu, karena gua pribadi tau rasanya jadi pemeran dalam suatu pertunjukan
drama. Meskipun masih sekedar level, ‘yang
penting ambil nilai bahasa inggris’, tapi lumayan serius juga.
Yang
ditempuh seorang pemeran itu tidak sebentar. Mulai dari concepting, mind-mapping, simulasi atau latihan, kemudian eksekusi, sampai ke hasil akhirnya
nanti. Entah itu dapat tepuk tangan, atau malah dilempar kuaci.
Ditambah
latihan berhari – hari. Gagal berkali – kali. Sampai, yang penting apal dialog
daripada ingat mandi.
Itu
semua yang membuat gua suka, sama yang namanya ‘pertunjukan’. Karena prosesnya.
Entah itu musik, drama, stand up comedy,
dan lain – lain.
Seorang
pemeran juga punya tanggung jawab yang cukup besar. Untuk dirinya sendiri,
lawan main, dan penonton yang datang. Kredibilitas
sebuah pertunjukan bisa ditentukan dari performa para pemerannya. Meskipun
bukan itu doang faktor satu – satunya.
Tidak
bisa sampai di atas, kalau belum mulai dari bawah. Untuk mendapatkan peran yang
cocok, butuh audisi dan latihan berkali – kali. Agar kemampuannya di akui
banyak orang, juga bukan perkara yang mudah.
Terkadang,
bukan semua tapi beberapa orang, tidak punya cukup kesabaran untuk merintis
secara perlahan. Biasanya mereka – meraka tuh, yang menuhankan ketenaran.
*Sekali
lagi, bukan semua tapi beberapa.
Mereka
pasti menghalalkan segala cara untuk mencapai keinginannya. Seperti menggunakan
‘Suntik Silikon’ sebagai contohnya.
Sudah
sering dengar kan, bagaimana cara orang – orang yang menunjang karirnya lebih
tinggi, dengan cara memvermak
kecantikan dan ketampanannya sendiri ?
Mereka
mengizinkan bentuk tubuhnya di ubah. Mereka me-normalisasi-kan,
‘kepalsuan’. Demi mendapatkan sesuatu yang mereka inginkan.
Meskipun,
ada benarnya kalau orang – orang bilang, “kalau
mau sesuatu, ya harus berkorban.” Tapi bukannya kelewatan ya, kalau
mengubah apa yang diberi sama Tuhan ? Kecuali untuk alasan medis dan hal – hal yang berhubungan dengan kesehatan.
Kasihan,
badannya oplosan.
Mereka,
pemeran, seperti ‘dikejar target’
sama penonton. Mereka, sampai rela menyuntikan zat kimia kedalam tubuh, demi
kepuasan penonton. Meski ada alasan kepuasan sendiri juga, tapi yang jadi dasar
awalnya kan orang lain. Kalau tidak ada yang melihat, buang – buang duit doang
pakai suntik silikon segala.
Kurang
lebih kaya di kehidupan sehari – hari lah. Saat kita butuh untuk, ‘mengubah sesuatu demi sesuatu’.
*
Beberapa
minggu yang lalu, gua dan Fista, sesama penulis blog, bergantian
memberikan sebuah topik untuk mengisi
tulisan di blog masing – masing.
Gua
menantang Fista untuk menuliskan sesuatu tentang cinta/hubungan, karena waktu
itu bertepatan dengan minggu – minggu perayaan Valentine. Sedangkan dia,
memberikan gua sebuah topik yang cukup sederhana, “menurut lu, ada ga sih orang
yang tidak fake ?”. Gitu.
Dan,
boi oh boi, entah kenapa gua butuh
waktu yang cukup lama untuk mengerjakan tulisan ini. Sungguh sebuah topik sederhana
yang ternyata rumit juga.
“Ada
ga sih orang yang tidak fake ?”
Jawaban
gua pribadi, ada. Tapi, bukan ‘tidak
fake’ atau ‘tidak palsu’,
melainkan lebih ke, ‘punya karakter
sendiri’.
Setuju
ga, kalau gua bilang, “Setiap Kita,
hanyalah seorang pemeran di dalam panggung orang lain.” ?
Yang
artinya, kita cuma sesosok manusia, yang sengaja/tanpa sengaja menjalani
kehidupannya sendiri, di kehidupan orang lain.
Sedih
ya kalau dipikir – pikir. Bisa jadi kita hanya sekedar aktor saja, tidak ada
yang kenal, jadi sekedar bahan tontonan saja. Masih melayang – layang dibatas, penonton
suka atau tidak dengan penampilan kita.
Tapi,
ada satu hal yang bisa membuat diri kita, noticable.
Sama seperti seorang pemeran yang rela suntik silikon, demi mendapatkan peran
dan jadi lebih famous.
Kita
butuh yang namanya, ‘karakter’.
Bahkan
jika sampai harus melakukan sesuatu yang ‘fake’,
yang ‘bukan gue banget’.
Kalau
demi tidak dibuangnya kita dari kehidupan seseorang. Demi kehadiran kita
terlihat oleh seseorang tersebut. Demi seseorang tersebut jadi milik kita
sendiri. Sah – sah saja.
Yang
penting asik, terus ga ngusik. Gua
pribadi sih santai aja. Entah kalau lu pada maunya kaya gimana.
.
*PS
: kalau mau lihat tulisan yang dibuat Fista, bisa klik DISINI.
.
.
.
Jadi
kalau ada yang ngomong ke kalian, “yang penting, gua ga fake !” sampai muncrat.
Ya biar sajalah.
Selama tidak mengganggu. Ya
mungkin mereka sedang berusaha menarik perhatianmu, atau sedang dalam usaha
mencari jati diri. Gitu.