Pages

  • SINI GUA BILANGIN
  • Sini Kenalan !
Instagram Facebook Twitter

Sini Gua Bilangin!

Ekskresi Hati dan Pikiran, dari Insan yang Sok Tahu.

    • SINI GUA BILANGIN
    • SINI KENALAN

    Selamat Siang, Nyonya. Lagi-lagi ku beritakan.

    Setelah berbulan-bulan, badai masih tak kunjung usai. Gaun yang kau pakai dan pelampung yang ku kenakan, mulai usang terbengkalai. Kita tengah terombang-ambing terbawa gelombang, di hadapan buruknya situasi hati sang lautan.

    Kemudian, aku mulai galak, saat kau mulai kehilangan harapan.

    Photo by Juan Gomez on Unsplash


    Sudah dibantai meski belum sampai habis. Tersisa hanya telinga, mulut, dan kemampuan kita mengeluhkan apa saja. Dari bagaimana cuaca yang tidak baik, hingga kesalahan kecil yang seharusnya
    bisa dimaafkan saja.

    Namun, ya biasa lah, ya? Mari bersama-sama menyalahkan keadaan yang berubah-ubah seenaknya.

    Kita pergi berlayar, hanya dengan berbekal pengetahuan mengenai lautan yang dipelajari tidak lebih dari 20 menit. Maka pantas saja ketika kita terkejut. Mengetahui bahwa yang kita pelajari, tidak selalu sesuai dengan apa yang sebenarnya terjadi.

    Apalagi, saat kita perlu mengendarai kapal keluar dari badai seperti sekarang ini. Dengan pengalaman yang seadanya, ditambah dengan presentase keberuntunganku yang hampir anjlok bahkan nol persen, aku jujur kaget. Bisa-bisanya kita masih mengambang sampai sekarang.

    Padahal, Kau dan Aku juga tidak berangkat dengan kondisi yang baik-baik saja. Aku dengan lebam dan krisis kepercayaan, sedangkan kau dengan kaki terkilir dan tekanan batin yang berkepanjangan.

    Tapi, hei, mau gimana lagi, iya kan? Semakin lama berjalannya waktu, kalimat, “Ya sudah lah, ya?” jadi mantra yang kita ucap hampir setiap harinya.

    Beberapa kali, karena sudah lelah dan kita mulai kehilangan arah, aku menyarankan untuk meninggalkan kemudi. Ku pikir, harapan yang seperti apalagi yang bisa kita pegang buat bertahan? Lagi pula, jangka waktu harapan itu tidak panjang. Belum juga sepenuhnya kita rasakan, sudah ditarik lagi dari kenyataan.

    Dengan menghela nafas panjang, dan menyeka keringat yang berkucuran, kau hampir setuju. Karena Nyonya, kau pun lelah. Dan angin masih sangat kencang untuk waktu yang tidak bisa ditentukan.

    Kita hanya bisa menunggu hujan reda yang entah kapan.

    .

    “Awas ombak besar, berpegangan yang kencang.” Sal Priadi, selaku patroli laut, mengingatkan. Sembari mengendarai dendangan nada, dan lirik yang entah-gimana.

    Nyonya, kita mesti sadar. Ini bukan hanya soal berpasang-pasangan. Tapi bagaimana agar efek samping dari pencampuran dua dunia yang berbeda dapat diredam. Ditambah, bagaimana mensiasati masalah eksternal yang nyentil urat di leher kita dengan tiba-tiba.

    Kemudian, tentang cara bertahan, bersiasat, dan menanggapi benturan demi benturan.

    Aku jujur takut pegang kemudi. Aku malah lebih jago membaca ombak dan merancang jalur mana yang paling oke kita lewati. Hingga menghitung rumus kecepatan kita berlayar, berdasarkan jumlah Burung Camar yang lagi nyemil sambal ngeledek di atas kapal.

    Se-enggak-penting itu, aku sudah ahlinya. Tapi, tidak soal eksekusi. Aku selalu lemah.

    Namun Nyonya, kau marah. Kau tidak suka aku punya pikiran jelek seperti itu. Aku dibuat sadar, kalau hanya takut terus, kapal kita tidak akan pergi kemana-mana. Dibantu dengan kalimat-kalimat keberanian yang terus Nyonya utarakan. Aku mulai berani sesekali.

    Nyatanya Nyonya, ternyata semua ketidakpastian dan pikiran yang berlebihan, harusnya bisa kita coba kendarai dulu alurnya. Dirasakan dulu kerasnya, sampai nanti bisa akrobat tanpa perlu pusing mikir benar atau tidaknya.

    Aku meliuk-liuk, dan kau tiger sprong di atas gelombang. Mungkin setelahnya, Aku coba belly dance, dan kau coba angkat beban sambil jungkir balik 27 kali di udara. Pokoknya gitu deh, bersenang-senang.

    Kita bisa melakukan itu kalau sudah merasa familiar dengan rasa sakit, dan pelajaran-pelajarannya.

    Nyonya, kali ini ku beritakan kembali. Ya, badai masih berlangsung, dan gelombang masih tinggi. Tapi, suatu waktu nanti pasti berhenti. Mari bersama, kita selamatkan apa yang tersisa, serta menggocek pikiran agar putus asanya tidak terlalu berasa.

    Aku meyakinkan diri, dan kau pun harusnya juga. Mari setuju kalau setidaknya, kita masih baik-baik saja. Iya, kan ya? Iya dong harusnya.

    ***

    Dengarkan, Irama Laot Teduh oleh Sal Priadi di sini : https://youtu.be/NAjYWikwSTE 

    Continue Reading

    Dengar. Mas-mas tukang nasi goreng mengayun sodet hingga buyar nasi di wajan. Beberapa butir nasi gugur berjatuhan. Sisanya menari dengan sambal cabai sembilan, dan berbagai bumbu racikan.

    Bulan, malam itu telah disabit. Entah salah apa dia sebelumnya.

    Photo by Jack Chen on Unsplash

    Kita sering salah kaprah, mengenai ekspektasi, dan efek sampingnya yang bukan-bukan. Bersyukurlah kau yang sekarang merasa baik-baik saja. Tunggu sampai situasi jadi memberikan beban yang berlebihan. Barulah kita mengkonsumsi ekspektasi layaknya painkiller, atau pereda rasa nyeri.

    Nyeri dari lebam yang kita dapat akibat bertahan hidup. Belum ditambah luka bakar rasa takut, dan baret dari ragu-ragu. Semuanya secara bersamaan terasa sangat ngilu.

    Ekspektasi dan reaksi kimianya, dapat meredakan rasa tersebut. Namun bersamanya datang efek samping. Dan yang paling mengganggu kinerja tubuh merupakan, rasa kecewa.

    Mbak-mbak sosialita yang tinggal di Apartemen lantai ke-2000 bilang, “Enggak apa-apa berekspektasi tinggi, sayang.” Remaja tanggung dengan bulu ketek malu-malu, bergidik. “Asal kamu tahu cara bersikap, kalau ekspektasimu enggak kesampaian.” Lanjutnya.

    Mbak-mbak tersebut membenarkan konsumsi ekspektasi yang teratur. Serta memberi wejangan agar tetap tenang ketika efek samping dari ekspektasi mulai muncul ke permukaan. Kalau dipikir berulang, tidak ada yang keliru dari ucapan tersebut.

    Tapi, apalah kita yang cuma seorang pelaut amatir? Membaca arah mata angin saja tidak bisa, apalagi bersikap biasa saja waktu merasa kecewa. Bercanda ya? Pokoknya kita tidak bisa.

    Yang kita tahu, ekspektasi, seperti malam hari penuh bintang tapi dengan bulan yang sabit. Padahal, yang sempurna itu yang purnama. Yang bentuknya bulat, membagikan cahayanya sekuat tenaga.

    Hanya kurang sedikit lagi, hanya kurang bulan yang bulat saja. Tapi rasanya ada yang hilang sepenuhnya. Begitulah ekspektasi.

    Tapi kalau dipikir lagi, salah apa bulan yang disabit? Dasar manusia, inginnya yang selalu sempurna.

    Lalu apa yang salah dari ekspektasi? Dasar manusia, maunya yang pasti-pasti saja.

    .

    Daya tahan tubuh mulai menurun. Bukan hanya dari kerasnya cuaca, tapi juga harapan yang sia-sia. Hingga mampet hidung kita, berkali-kali menyeka yang turun tanpa sengaja.

    Apa perlu, Kita merasa kasihan dengan ekspektasi?

    Bayangkan Ia seekor hewan peliharaan. Berupa kucing misalnya. Yang kita temui dipinggir jalan, kita beri makan, kita beri tempat tinggal yang nyaman. Hingga tumbuh tanaman liar yang tidak beraturan bernama, “Perasaan Sayang.” Bersamanya datang puluhan ribu hama, yang menyerupai sebuah ekspektasi.

    Lalu seketika, kita menginginkan hal yang tidak wajar. Dari mahluk nan lucu yang katanya kita, “Sayang.”

    “Hei, coba kau bisa memanjat menara Eiffel dan mengibarkan bendera perdamaian.” “Eh, kayanya keren deh, kalo kamu jadi Astronaut Kucing Pertama di Dunia.” Atau, “Sayang, bisa tidak kau memberikan hal yang sama, seperti yang telah Aku berikan kepadamu sebelumnya?”

    Ya tidak begitu, cara mainnya. Bumi tidak berputar pada poros yang Kita sebut, "Diri Sendiri." Kehidupan juga begitu.

    Entah seberapa banyak pengandaian mengenai ekspektasi dapat yang dibuat, Ia akan tetap ada. Menjadi semacam enigma, atau teka-teki yang jawabannya bisa saja benar, tapi belum berarti salah. Begitupun sebaliknya.

    Continue Reading
    Nenek Moyang, dulu adalah seorang pelaut. Namun generasinya sekarang, kebanyakan adalah seorang penakut. 

    Tidak. Bukan berarti tidak pernah berjuang.

    Pada samudra yang buas, Nenek Moyang berpetualang. Sedang generasinya sekarang, kebingungan mencari jalan pulang.

    Tidak. Bukan berarti tidak pernah melakukan perjalanan.

    Photo by Jeremy Bishop on Unsplash

    Ombak ganas sesekali menghantam kapal di atas lautan kehidupan seseorang. Ia berbentuk masalah-masalah, kekeliruan, ketakutan, dan hal-hal buruk lainnya. Menggoyangkan seluruh kapal, membuat isinya berantakan.

    Ombak-ombak tersebut bukannya datang tanpa peringatan. Dari kejauhan, kapten kapal telah melihat adanya perbedaan gelombang. Kemudian disusul dengan perintah kepada seluruh anak buah kapal untuk mempersiapkan diri, beberapa saat lagi akan terjadi benturan.

    Setelahnya adalah kepasrahan. Apakah kapal yang dinaiki dapat tetap bertahan? Jawabannya ada pada orang-orang yang selamat, atau dibawa tenggelam di kedalaman.

    “Laut yang mudah, tidak membentuk pelaut yang handal.” Kalimat dari pelaut tua yang berpengalaman.

    Seseorang dapat menyatakan keadaan baik-baik saja, atau tidak baik-baik saja, setelah melewati apa yang ada di hadapannya. Seseorang dapat memperbaiki apa yang rusak, setelah memberanikan diri berjalan kedepan.

    Apa yang dapat dilihat jika memilih memberhentikan perjalanan? Membentur ombak, tidak percuma kan?

    Pelaut yang handal meliuk-liuk di atas kapal. Memanjat tiang semudah berenang. Terjun ke laut dengan keindahan. Tapi, tidak datang dengan nilai yang murah.

    Semuanya berlayar melewati arus pengalaman. Dari damainya gelombang di pesisir pantai, dekat dengan rumah. Hingga ombak raksasa yang melahap lambung kapal. Mendapatkan bekas luka sebagai hadiah perjalanan.

    Para pelaut yang handal telah merasakan berbagai macam lautan. Tetapi kenyataan tersebut tidak menghalangi mereka untuk kembali pergi berpetualang.

    .

    Kita sekarang, adalah nahkoda dari kapal yang tidak kita buat sendiri. Dasar dan kerangkanya telah ditentukan beberapa kali. Barulah pada pelayaran yang kesekian, Kita memegang kendali.

    Maka, tidak apa sedikit menyalahkan keadaan. Realitanya datang dengan jawaban. Terutama untuk mereka-mereka yang kerap kali menjatuhkan. 

    Tidak ada yang benar-benar memulai perjalanan sendirian.

    Meski begitu, mengarungi lautan seharusnya tidak perlu banyak alasan. Ketika telah berada di atas samudra, semuanya menjadi setara.

    Kita mungkin kurang beradaptasi. Kurang menekuk sudut-sudut tubuh, membengkokan sendi-sendi. Kurang lihai membaca angin, kurang percaya diri memegang kemudi.

    Mohon maaf, Nenek Moyang. Lautannya sekarang berbeda, meski ganasnya tetap sama. Memecahkan kode-kode kehidupan, bisa dibilang mirip seperti membaca rasi bintang. Kami juga tengah mencari jalan pulang.

    Kalau ditelusuri lebih dalam, pastinya terdapat cerita tentang Nenek Moyang yang tersesat. Nenek Moyang yang tidak jadi berpetualang, Nenek Moyang yang kebingungan. Mengingat banyaknya cerita-cerita yang telah diutarakan.

    Jadi tidak apa bukan? Petualangan, kan tetap petualangan?

    Pada akhir perjalanan, Kami juga akan dikenal sebagai pelaut. Meski tidak sehebat apa yang telah Nenek Moyang sebut.
    Continue Reading
    Kebebasan untuk menentukan bagaimana masa depan, merupakan hak teristimewa. Hanyalah orang-orang terpilih, dengan cerita khusus yang telah ditulis demikian.

    Beberapa di antara kita harus melaju di atas sebuah rel yang sudah ada sebelumnya. Kecepatan, tujuan, kelokan, teratur. Diatur. Tanpa adanya kesempatan menentukan.

    Dibawanya di dalam gerbong, peti-peti kayu penuh harapan. Dari orang-orang yang mengira bahwa, yang terbaik ya memang apa yang sudah ditentukan.

    Photo By Deglee Degi on Unsplash


    Mari membayangkan ‘masa depan’, sebagai sebuah hutan belantara. Penuh dengan pepohonan menjulang, dan suara-suara bising para penghuni hutan.

    Seekor monyet memberitahu orang-orang bagaimana cara hidup yang seharusnya. Burung jalak bersahutan saling membenarkan. Ular yang dengan liciknya menjerumuskan siapapun jatuh ke jurang.

    Kita, petualang. Atau lebih tepatnya, manusia-manusia yang hilang. Ditelan lebatnya dedaunan dan keingintahuan.

    Ujung yang tidak terlihat, menyimpan banyak misteri. Dari bagian hutan satu dengan bagian hutan lainnya berbeda. Mereka yang tidak mempunyai kesiapan hati, sudah pasti habis ditelannnya.

    Meski menyeramkan, keberadaan belantara ini penting. Siapapun harus melewatinya. Ia rintangan, sekaligus bagian dari proses perjalanan.

    Di dalamnya, seseorang bisa menemukan. Atau berakhir ditemukan.

    Beberapa ditakdirkan untuk keluar dari hutan dengan selamat. Meski penuh luka, mereka berhasil menemukan sebuah jawaban. Namun pada waktu yang bersamaan, beberapa yang lain ditakdirkan untuk berhenti di tengah jalan.

    Sudahlah penuh luka, tidak menemukan apa-apa pula.

    Berawal dari garis mulai yang sama. Kemudian berpisah di persimpangan. Beberapa terpaksa tidak melanjutkan.

    Dalam kepasrahan, mereka melangkahkan kaki memutar balik kembali ke jalan utama. Meronta hatinya, kebingungan menyalahkan siapa. Ini bukan akhir yang seharusnya.

    Mereka yang selamat, merayakan keberhasilan. “Kemenangan bersama orang-orang yang pantang menyerah!” Serunya. Sorak-sorai terdengar ke seluruh penjuru hutan, hingga ke telinga Mereka yang sedang dalam perjalanan pulang.

    Di dalam hatinya menggerutu. Kesal. Karena semua seruan itu benar.

    .

    Proses menerima kenyataan memerlukan banyak waktu. Realita kehidupan yang dengan penuh kasih sayang, akan membangunkan orang-orang dari tidurnya. Sampai akhirnya kesadaran diri untuk setuju, inilah yang harus dijalankan.

    Menari-narilah setelahnya. Karena, ya mau apa? Tertawalah sepuasnya. Karena, ya bisa apa? Menangislah sejadi-jadinya. Karena, ya sudahlah ya?

    Sekarang, kan jadi tahu bisa apa. Batasnya sampai di mana.

    Bergembiralah. Karena ternyata, salah satu kekuatanmu adalah kelapangan dada. Yang mana, hanya segelintir manusia di muka bumi yang memilikinya.

    Tidak ada yang salah. Malah terimakasih telah mencoba. Mana ada yang tahu, akan jadi seperti apa perjalanannya.
    Continue Reading
    Seperti sedang berada di dalam sebuah kendi. Dengan permukaan licin, serta cahaya yang minim. Satu pintu masuk, yang juga merupakan pintu keluar.

    Ada di atas sana. Apa yang tengah dikejar, Apa yang ingin diraih, Apa yang harus dimiliki, semuanya menunggu di atas sana. Rasanya sungguh dekat.

    Namun nyatanya masih sangat jauh.

    Photo by Daniel Tafjord from Unsplash



    Lalu Ia jatuh, ketika sedang melompat sekuat tenaga. Menghantam dasar dengan kasar. Membuat seluruh ruangan bergetar.

    Untuk sebuah percobaan yang sia-sia, Ia telah jatuh dari jarak yang terlalu tinggi. Apalagi jika sudah dilakukan berkali-kali. Dua kali lebih bodoh dari yang seharusnya.

    Tapi apa yang bisa dilakukan oleh seorang manusia, yang terjebak dalam ketidakseimbangan? Dengan perbandingan yang jomplang, menyisakan sedikit peluang?

    Hanyalah mencoba yang bisa Ia coba. Selagi jiwa dan raganya masih sepakat dengan jalan pikirannya.

    Namun, untuk yang kesekian kalinya, Ia jatuh lagi. Tiap hari berganti, Ia jatuh lebih keras lagi.

    Ia mulai ketakutan. Dari dalam jiwanya menerobos keluar rantai-rantai kecemasan. Melilit tubuhnya, mencekik lehernya. Ia tidak dapat bernafas dengan sempurna.

    Ketakutannya, menjadi bentuk yang nyata. Meski sungguh, jika dilihat dengan mata telanjang, tidak ada apa-apa di sana. Namun, Ia tetap takut.

    Ditambah gelap yang melahap hampir seluruh ruangan, Ia tidak akan pernah tenang.

    Bersamanya di sana, sepuluh juta pikiran memenuhi kepalanya. Menyumbat arus komunikasi antara raga dan sang pengendalinya.

    Dibandingkan sebuah kendi yang terbuat dari tanah liat, Ia merasa Ialah yang lebih mudah terpecah belah. Lebih retak dari dinding-dinding disekitarnya. Lebih rentan hancur, dari apa yang dipijaknya.

    .

    Dari dalam gelap, Ia melihat cahaya yang lain dari yang biasanya. Hangatnya tetap sama, tapi tempat kedatangannya yang berbeda. Sebuah retakan kecil dari dinding disekitarnya. Mempersilakan cahaya masuk dari luar, menyinari sedikit ke dalam.

    Semua jatuhnya ternyata, tidak sia-sia. Badannya yang terus-menerus menghantam dasar mulai membuat tempat tersebut menyerah. Mungkin ini hasil dari tekadnya, atau mungkin keputusasannya.

    Yang jelas, Ia melihat kesempatan kedua.

    Lebih dari itu, bukan hanya cahaya yang masuk menyapanya. Melainkan juga suara merdu dari balik dinding tempatnya berada.

    Di sana Ia, dengan gigih menggedor dinding dengan lebih kuat. Memperlebar jalan masuknya ke dalam. Seorang perempuan yang datang membawa kehangatan, tidak pernah sedikitpun terlintas di pikirannya.

    Semesta dengan skenario yang tidak bisa diterka. Bahkan sampai pada akhir cerita.
    Continue Reading
    Apa yang sedang Aku saksikan adalah, sebuah pertikaian terbesar sepanjang masa. Dua kepala dengan isi yang berbeda, sama – sama ingin menang dan berkuasa. Atas apa yang Mereka bilang dengan, ‘Pengakuan’. Atas tahta di atas segala aturan – aturan.

    Keduanya saling melontarkan anak panah. Keduanya saling menombak ke segala arah. Tanpa peduli darah siapa yang berjatuhan.

    Ini menakutkan. Ini menghancurkan.

    Aku dengan hati yang berserakan, hanya bisa mengutuk dalam – dalam.

    Photo by Jose Murillo on Unsplash

    Tidak ada yang bisa tidur nyenyak dengan nafas yang memburu. Detak jatung tak teratur, dan pikiran yang kacau balau. Kalau pun dapat memejamkan mata, paling hanya untuk beberapa detik saja.

    Kemudian, keringat dingin kembali berkucuran, berpikiran yang bukan – bukan. Lambat laun mulai mengikis kesadaran.

    Sebenarnya, apa yang membuat Mereka begitu nyaman dengan perseteruan ? Apa yang membuat Mereka mudah sekali menabuh genderang perang ? Meneriaki satu sama lain, memburu dengan kejam.

    Mungkin sedang mempertaruhkan sesuatu yang penting. Atau mencari jawaban atas pertanyaan - pertanyaan. Atau memang ini adalah sebuah jenis penyakit, dan Mereka punya kelainan.

    Apapun itu, perseteruan dan pertikaian bukanlah sesuatu yang menyenangkan.

    Tidak jauh dari medan perang, ada segerombolan orang yang jadi korban. Orang – orang yang terpaksa melihat kehancuran dari sisi yang tidak aman.

    Bayangkan di-bombardir dari kedua arah. Tidak bisa bergerak, tidak dapat berbuat apa – apa. Diam, dengan wajah yang murung dan sendirian. Setiap waktu mempertanyakan, “Kapan akan berhenti?”,“Kapan Kami pulang?”

    Namun, gelegar suara meriam masih bersahutan. Teriakan demi teriakan semakin kencang. Perang tidak akan selesai dalam waktu dekat.

    Mereka hanya bisa menarik kesimpulan, bahwa bertahan hidup sambil mengharapkan datangnya keajaiban, adalah jawaban yang paling tepat.

    .

    Kemudian, tibalah Mereka pada babak terakhir. Babak yang menjadi puncak dari segalanya. Dengan amarah yang telah mencapai titik didih, kesadaran yang memudar, dan waktu yang berhenti berputar.

    Kedua tubuh yang bertolak belakang, Kedua kepala yang bersitegang, mulai kehilangan tenaga. Lalu jatuh bersamaan.

    Apa yang Mereka lihat di sekitar hanyalah kekosongan. Dihiasi dengan kehancuran – kehancuran. Air mata, dan luka yang dalam.

    Di penghujung nafas yang mulai menipis, barulah Mereka sadar. Mereka telah kehilangan segalanya. Mereka telah kehilangan apa yang seharusnya sangat berharga. Mereka telah kehilangan apa yang seharusnya terjaga.

    Dan untuk itu, Aku ucapkan selamat datang di penyesalan. Sebuah tempat di sudut bumi yang paling ‘edan’.
    Continue Reading
    Sebuah bangunan besar sedang dibangun di atas bukit. Dengan tembok – tembok yang tinggi menjulang sampai langit, membuat siapapun yang berada di dekatnya merasa kerdil.

    Namun, nampaknya tidak berpenghuni. Kecuali benda – benda aneh yang dibalut cahaya, diletakan sembarang di dalamnya.

    Kemudian, seorang perempuan berjalan ke dalam. Berjalan dengan tudung hitam, dan menunduk. Meletakan benda – benda di dalam pelukannya, di sekitar benda – benda lainnya.

    Cahaya putih ke kuningan yang terpancar, sangat menyilaukan mata. Namun Aku bisa melihat dengan jelas, perempuan ini terlihat benar - benar kesedihan.

    Photo by Dave Ruck on Unsplash


    Tidak ada yang salah jika seseorang ingin melindungi dirinya sendiri. Sampai kepada tingkat di mana, mereka melarikan diri. Kemudian membuat tempat untuk bersembunyi.

    Mengurung diri. Tidak memperbolehkan siapapun untuk mendekat sama sekali.

    Bisa saja tempat bersembunyi itu, adalah sebuah Kastil. Tempat para Raja – Raja, Ratu, dan para Petinggi. Karena apapun yang ingin Mereka lindungi, sama pentingnya, sama berharganya. Hingga  perlu tempat yang pantas dan luar biasa.

    Hal – hal seperti Hati, misalnya. Atau sebuah kesadaran. Karena keduanya sangat mahal dan langka.

    Kita semua punya sesuatu yang tidak perlu diketahui banyak orang. Rahasia, dosa, luka – luka, bagian dari diri kita yang lain, dan sebagainya. Ini sungguh wajar. Karena hal inilah yang membuat seorang manusia, menjadi ‘manusia’.

    Dan dibongkar, diketahui, bahkan disakiti, adalah hal ke-dua-ribu-sembilan-ratus-sembilan-puluh-sembilan, yang paling Mereka inginkan.

    Bagi Mereka, bersembunyi adalah jalan keluar satu – satunya.

    Namun tanpa sadar, sedikit demi sedikit, hal ini yang akhirnya memutus Mereka dengan dunia luar. Terisolasi, sendirian. Mungkin bisa sampai dimakan waktu, kemudian dilupakan.

    Tidak hanya Mereka menyakiti diri sendiri, Mereka juga menghancurkan apapun yang ada di sekitarnya. Orang – orang yang tanpa sengaja berjalan, dekat tempat di mana Mereka berada.

    Kastil yang dibangun atas nama ‘perlindungan’, tempat ter-aman untuk meletakkan badan, pertahanan terakhir sebelum jatuh lebih dalam,

    Akhirnya runtuh dengan perlahan.

    .

    Beberapa orang bisa terlihat baik – baik saja, meski di dalam hatinya, Mereka merasa sangat ketakutan. Berjalan dan membaur dengan sekitar, sambil menahan kesakitan.

    Aku kenal dengan seorang perempuan. Senyumnya selebar pegunungan, dan wajahnya secerah matahari di ujung jalan. Melihatnya, menenangkan hati yang sedang berantakan.

    Suatu waktu, Aku mencoba melihat lebih dalam. Membawa ke dua mataku untuk melihat sesuatu yang tidak pernah diperlihatkan. Dan di sana lah Ia berdiri, di hadapan sebuah kastil dengan menara – menara yang mulai berjatuhan. Kesepian.

    Pantas saja setiap Aku mendekat, ada sistem pertahanan yang terlihat sangat  mencurigakan. Namun, pertahanan tersebut sepertinya tidak akan bertahan lama. Aku tahu, dan Aku lihat.

    Sekarang, Aku sedang mencoba mengulurkan tangan. Menawarkan diri untuk menemaninya melihat kehancuran. Bersama - sama. Paling tidak, agar tidak sendirian. Agar lebih aman. Agar tidak sakit berlebihan.

    Karena Aku paham rasanya. Karena Aku juga punya Kastil yang mulai hancur pelan – pelan.
    Continue Reading
    Older
    Stories

    Siapa Ini ?

    Foto Profil 2020

    Jo Reha

    Hallo ! Apa kabar ? Saya Jo, yang biasanya nulis di blog ini. Maaf ya kalau tulisannya kurang jelas atau enggak masuk akal. Karena memang begitu Saya orangnya.

    Mikirnya kejauhan, Imajinasinya ketinggian. Jadi, salam kenal !

    Lebih Lanjut

    • facebook
    • twitter
    • instagram
    • youtube

    Bacaan Terbaik

    • The Game of Waiting
    • Sudut Bumi Paling 'Edan'
    • Pemeran, Penonton, dan Suntik Silikon
    • Galaksi, Ini dan Itu.

    Bacaan Terbaru

    Labels

    bekasi cerpen curhat kritik mikir Personal Thought random santai

    Arsip Blog

    • Oktober 2020 (1)
    • Agustus 2020 (1)
    • Januari 2020 (1)
    • November 2019 (1)
    • Agustus 2019 (1)
    • September 2018 (1)
    • Agustus 2018 (1)
    • Juli 2018 (2)
    • Januari 2018 (1)
    • November 2017 (1)
    • Juli 2017 (1)
    • April 2017 (3)
    • Februari 2017 (3)
    • Januari 2017 (4)
    • Desember 2016 (1)
    • November 2016 (2)
    • Oktober 2016 (1)

    Para Pembaca

    Facebook Twitter Instagram Google Plus

    Created with by BeautyTemplates | Distributed By Gooyaabi Templates

    Back to top