Pilek, Dan Pesan Dari Bulan Sabit

Agustus 03, 2020

Dengar. Mas-mas tukang nasi goreng mengayun sodet hingga buyar nasi di wajan. Beberapa butir nasi gugur berjatuhan. Sisanya menari dengan sambal cabai sembilan, dan berbagai bumbu racikan.

Bulan, malam itu telah disabit. Entah salah apa dia sebelumnya.

Photo by Jack Chen on Unsplash

Kita sering salah kaprah, mengenai ekspektasi, dan efek sampingnya yang bukan-bukan. Bersyukurlah kau yang sekarang merasa baik-baik saja. Tunggu sampai situasi jadi memberikan beban yang berlebihan. Barulah kita mengkonsumsi ekspektasi layaknya painkiller, atau pereda rasa nyeri.

Nyeri dari lebam yang kita dapat akibat bertahan hidup. Belum ditambah luka bakar rasa takut, dan baret dari ragu-ragu. Semuanya secara bersamaan terasa sangat ngilu.

Ekspektasi dan reaksi kimianya, dapat meredakan rasa tersebut. Namun bersamanya datang efek samping. Dan yang paling mengganggu kinerja tubuh merupakan, rasa kecewa.

Mbak-mbak sosialita yang tinggal di Apartemen lantai ke-2000 bilang, “Enggak apa-apa berekspektasi tinggi, sayang.” Remaja tanggung dengan bulu ketek malu-malu, bergidik. “Asal kamu tahu cara bersikap, kalau ekspektasimu enggak kesampaian.” Lanjutnya.

Mbak-mbak tersebut membenarkan konsumsi ekspektasi yang teratur. Serta memberi wejangan agar tetap tenang ketika efek samping dari ekspektasi mulai muncul ke permukaan. Kalau dipikir berulang, tidak ada yang keliru dari ucapan tersebut.

Tapi, apalah kita yang cuma seorang pelaut amatir? Membaca arah mata angin saja tidak bisa, apalagi bersikap biasa saja waktu merasa kecewa. Bercanda ya? Pokoknya kita tidak bisa.

Yang kita tahu, ekspektasi, seperti malam hari penuh bintang tapi dengan bulan yang sabit. Padahal, yang sempurna itu yang purnama. Yang bentuknya bulat, membagikan cahayanya sekuat tenaga.

Hanya kurang sedikit lagi, hanya kurang bulan yang bulat saja. Tapi rasanya ada yang hilang sepenuhnya. Begitulah ekspektasi.

Tapi kalau dipikir lagi, salah apa bulan yang disabit? Dasar manusia, inginnya yang selalu sempurna.

Lalu apa yang salah dari ekspektasi? Dasar manusia, maunya yang pasti-pasti saja.

.

Daya tahan tubuh mulai menurun. Bukan hanya dari kerasnya cuaca, tapi juga harapan yang sia-sia. Hingga mampet hidung kita, berkali-kali menyeka yang turun tanpa sengaja.

Apa perlu, Kita merasa kasihan dengan ekspektasi?

Bayangkan Ia seekor hewan peliharaan. Berupa kucing misalnya. Yang kita temui dipinggir jalan, kita beri makan, kita beri tempat tinggal yang nyaman. Hingga tumbuh tanaman liar yang tidak beraturan bernama, “Perasaan Sayang.” Bersamanya datang puluhan ribu hama, yang menyerupai sebuah ekspektasi.

Lalu seketika, kita menginginkan hal yang tidak wajar. Dari mahluk nan lucu yang katanya kita, “Sayang.”

“Hei, coba kau bisa memanjat menara Eiffel dan mengibarkan bendera perdamaian.” “Eh, kayanya keren deh, kalo kamu jadi Astronaut Kucing Pertama di Dunia.” Atau, “Sayang, bisa tidak kau memberikan hal yang sama, seperti yang telah Aku berikan kepadamu sebelumnya?”

Ya tidak begitu, cara mainnya. Bumi tidak berputar pada poros yang Kita sebut, "Diri Sendiri." Kehidupan juga begitu.

Entah seberapa banyak pengandaian mengenai ekspektasi dapat yang dibuat, Ia akan tetap ada. Menjadi semacam enigma, atau teka-teki yang jawabannya bisa saja benar, tapi belum berarti salah. Begitupun sebaliknya.

You Might Also Like

1 Komentar

  1. TIP OF THE DRAGON - Titanium Art
    The first time I titanium pot saw the first prototype of a "TIP used ford edge titanium OF 하랑 도메인 THE DRAGON" was titanium hair trimmer when I titanium gold put my hands in my mouth and shook my head, "OK".

    BalasHapus