Selamat
Siang, Nyonya. Lagi-lagi ku beritakan.
Setelah
berbulan-bulan, badai masih tak kunjung usai. Gaun yang kau pakai dan pelampung
yang ku kenakan, mulai usang terbengkalai. Kita tengah terombang-ambing terbawa
gelombang, di hadapan buruknya situasi hati sang lautan.
Kemudian,
aku mulai galak, saat kau mulai kehilangan harapan.
Photo by Juan Gomez on Unsplash |
Sudah
dibantai meski belum sampai habis. Tersisa hanya telinga, mulut, dan kemampuan
kita mengeluhkan apa saja. Dari bagaimana cuaca yang tidak baik, hingga
kesalahan kecil yang seharusnya bisa dimaafkan saja.
Namun,
ya biasa lah, ya? Mari bersama-sama menyalahkan
keadaan yang berubah-ubah seenaknya.
Kita
pergi berlayar, hanya dengan berbekal pengetahuan mengenai lautan yang
dipelajari tidak lebih dari 20 menit. Maka pantas saja ketika kita terkejut. Mengetahui bahwa yang kita pelajari, tidak selalu
sesuai dengan apa yang sebenarnya terjadi.
Apalagi,
saat kita perlu mengendarai kapal keluar dari badai seperti sekarang ini.
Dengan pengalaman yang seadanya, ditambah dengan presentase keberuntunganku yang hampir
anjlok bahkan nol persen,
aku jujur kaget. Bisa-bisanya kita masih mengambang sampai sekarang.
Padahal,
Kau dan Aku juga tidak berangkat dengan kondisi yang baik-baik saja. Aku dengan
lebam dan krisis kepercayaan, sedangkan kau dengan kaki terkilir dan tekanan
batin yang berkepanjangan.
Tapi,
hei, mau gimana lagi, iya kan? Semakin lama berjalannya waktu, kalimat, “Ya sudah lah, ya?” jadi
mantra yang kita ucap hampir setiap harinya.
Beberapa
kali, karena sudah lelah dan kita mulai
kehilangan arah, aku menyarankan untuk meninggalkan kemudi. Ku pikir, harapan
yang seperti apalagi yang bisa kita pegang buat bertahan? Lagi pula, jangka
waktu harapan itu tidak panjang. Belum juga sepenuhnya kita rasakan, sudah
ditarik lagi dari kenyataan.
Dengan menghela nafas panjang, dan menyeka keringat
yang berkucuran, kau hampir
setuju. Karena
Nyonya, kau pun lelah. Dan
angin masih sangat kencang untuk waktu yang tidak bisa ditentukan.
Kita
hanya bisa menunggu hujan reda yang entah kapan.
.
“Awas ombak
besar, berpegangan yang kencang.” Sal Priadi, selaku patroli laut, mengingatkan. Sembari
mengendarai dendangan nada, dan lirik yang entah-gimana.
Nyonya, kita mesti sadar. Ini bukan hanya soal
berpasang-pasangan. Tapi bagaimana agar efek samping dari pencampuran dua dunia
yang berbeda dapat diredam. Ditambah, bagaimana mensiasati masalah eksternal
yang nyentil urat di leher kita
dengan tiba-tiba.
Kemudian, tentang cara bertahan, bersiasat, dan
menanggapi benturan demi benturan.
Aku jujur takut pegang kemudi. Aku malah lebih jago
membaca ombak dan merancang jalur mana yang paling oke kita lewati. Hingga menghitung
rumus kecepatan kita berlayar, berdasarkan jumlah Burung Camar yang lagi nyemil sambal ngeledek di atas kapal.
Se-enggak-penting itu, aku sudah ahlinya. Tapi, tidak
soal eksekusi. Aku selalu lemah.
Namun Nyonya, kau marah. Kau tidak suka aku punya
pikiran jelek seperti itu. Aku dibuat sadar, kalau hanya takut terus, kapal
kita tidak akan pergi kemana-mana. Dibantu dengan kalimat-kalimat keberanian
yang terus Nyonya utarakan. Aku mulai berani sesekali.
Nyatanya Nyonya, ternyata semua ketidakpastian dan
pikiran yang berlebihan, harusnya bisa kita coba kendarai dulu alurnya.
Dirasakan dulu kerasnya, sampai nanti bisa akrobat tanpa perlu pusing mikir
benar atau tidaknya.
Aku meliuk-liuk, dan kau tiger sprong di atas gelombang. Mungkin setelahnya, Aku coba belly dance, dan kau coba angkat beban sambil
jungkir balik 27 kali di udara. Pokoknya gitu deh, bersenang-senang.
Kita bisa melakukan itu kalau sudah merasa familiar
dengan rasa sakit, dan pelajaran-pelajarannya.
Nyonya, kali ini ku beritakan kembali. Ya, badai masih
berlangsung, dan gelombang masih tinggi. Tapi, suatu waktu nanti pasti
berhenti. Mari bersama, kita selamatkan apa yang tersisa, serta menggocek pikiran
agar putus asanya tidak terlalu berasa.
Aku meyakinkan diri, dan kau pun harusnya juga. Mari
setuju kalau setidaknya, kita masih baik-baik saja. Iya, kan ya? Iya dong
harusnya.
***
Dengarkan, Irama Laot Teduh oleh Sal Priadi di sini : https://youtu.be/NAjYWikwSTE