Ajari Pinggulmu Bergoyang Mengikuti Tingginya Gelombang

Oktober 26, 2020

Selamat Siang, Nyonya. Lagi-lagi ku beritakan.

Setelah berbulan-bulan, badai masih tak kunjung usai. Gaun yang kau pakai dan pelampung yang ku kenakan, mulai usang terbengkalai. Kita tengah terombang-ambing terbawa gelombang, di hadapan buruknya situasi hati sang lautan.

Kemudian, aku mulai galak, saat kau mulai kehilangan harapan.

Photo by Juan Gomez on Unsplash


Sudah dibantai meski belum sampai habis. Tersisa hanya telinga, mulut, dan kemampuan kita mengeluhkan apa saja. Dari bagaimana cuaca yang tidak baik, hingga kesalahan kecil yang seharusnya
bisa dimaafkan saja.

Namun, ya biasa lah, ya? Mari bersama-sama menyalahkan keadaan yang berubah-ubah seenaknya.

Kita pergi berlayar, hanya dengan berbekal pengetahuan mengenai lautan yang dipelajari tidak lebih dari 20 menit. Maka pantas saja ketika kita terkejut. Mengetahui bahwa yang kita pelajari, tidak selalu sesuai dengan apa yang sebenarnya terjadi.

Apalagi, saat kita perlu mengendarai kapal keluar dari badai seperti sekarang ini. Dengan pengalaman yang seadanya, ditambah dengan presentase keberuntunganku yang hampir anjlok bahkan nol persen, aku jujur kaget. Bisa-bisanya kita masih mengambang sampai sekarang.

Padahal, Kau dan Aku juga tidak berangkat dengan kondisi yang baik-baik saja. Aku dengan lebam dan krisis kepercayaan, sedangkan kau dengan kaki terkilir dan tekanan batin yang berkepanjangan.

Tapi, hei, mau gimana lagi, iya kan? Semakin lama berjalannya waktu, kalimat, “Ya sudah lah, ya?” jadi mantra yang kita ucap hampir setiap harinya.

Beberapa kali, karena sudah lelah dan kita mulai kehilangan arah, aku menyarankan untuk meninggalkan kemudi. Ku pikir, harapan yang seperti apalagi yang bisa kita pegang buat bertahan? Lagi pula, jangka waktu harapan itu tidak panjang. Belum juga sepenuhnya kita rasakan, sudah ditarik lagi dari kenyataan.

Dengan menghela nafas panjang, dan menyeka keringat yang berkucuran, kau hampir setuju. Karena Nyonya, kau pun lelah. Dan angin masih sangat kencang untuk waktu yang tidak bisa ditentukan.

Kita hanya bisa menunggu hujan reda yang entah kapan.

.

“Awas ombak besar, berpegangan yang kencang.” Sal Priadi, selaku patroli laut, mengingatkan. Sembari mengendarai dendangan nada, dan lirik yang entah-gimana.

Nyonya, kita mesti sadar. Ini bukan hanya soal berpasang-pasangan. Tapi bagaimana agar efek samping dari pencampuran dua dunia yang berbeda dapat diredam. Ditambah, bagaimana mensiasati masalah eksternal yang nyentil urat di leher kita dengan tiba-tiba.

Kemudian, tentang cara bertahan, bersiasat, dan menanggapi benturan demi benturan.

Aku jujur takut pegang kemudi. Aku malah lebih jago membaca ombak dan merancang jalur mana yang paling oke kita lewati. Hingga menghitung rumus kecepatan kita berlayar, berdasarkan jumlah Burung Camar yang lagi nyemil sambal ngeledek di atas kapal.

Se-enggak-penting itu, aku sudah ahlinya. Tapi, tidak soal eksekusi. Aku selalu lemah.

Namun Nyonya, kau marah. Kau tidak suka aku punya pikiran jelek seperti itu. Aku dibuat sadar, kalau hanya takut terus, kapal kita tidak akan pergi kemana-mana. Dibantu dengan kalimat-kalimat keberanian yang terus Nyonya utarakan. Aku mulai berani sesekali.

Nyatanya Nyonya, ternyata semua ketidakpastian dan pikiran yang berlebihan, harusnya bisa kita coba kendarai dulu alurnya. Dirasakan dulu kerasnya, sampai nanti bisa akrobat tanpa perlu pusing mikir benar atau tidaknya.

Aku meliuk-liuk, dan kau tiger sprong di atas gelombang. Mungkin setelahnya, Aku coba belly dance, dan kau coba angkat beban sambil jungkir balik 27 kali di udara. Pokoknya gitu deh, bersenang-senang.

Kita bisa melakukan itu kalau sudah merasa familiar dengan rasa sakit, dan pelajaran-pelajarannya.

Nyonya, kali ini ku beritakan kembali. Ya, badai masih berlangsung, dan gelombang masih tinggi. Tapi, suatu waktu nanti pasti berhenti. Mari bersama, kita selamatkan apa yang tersisa, serta menggocek pikiran agar putus asanya tidak terlalu berasa.

Aku meyakinkan diri, dan kau pun harusnya juga. Mari setuju kalau setidaknya, kita masih baik-baik saja. Iya, kan ya? Iya dong harusnya.

***

Dengarkan, Irama Laot Teduh oleh Sal Priadi di sini : https://youtu.be/NAjYWikwSTE 

You Might Also Like

0 Komentar