Seperti
sedang berada di dalam sebuah kendi. Dengan permukaan licin, serta cahaya yang
minim. Satu pintu masuk, yang juga merupakan pintu keluar.
Ada
di atas sana. Apa yang tengah dikejar, Apa yang ingin diraih, Apa yang harus
dimiliki, semuanya menunggu di atas sana. Rasanya sungguh dekat.
Namun
nyatanya masih sangat jauh.
Photo by Daniel Tafjord from Unsplash |
Lalu
Ia jatuh, ketika sedang melompat sekuat tenaga. Menghantam dasar dengan kasar. Membuat
seluruh ruangan bergetar.
Untuk
sebuah percobaan yang sia-sia, Ia telah jatuh dari jarak yang terlalu tinggi. Apalagi
jika sudah dilakukan berkali-kali. Dua kali lebih bodoh dari yang seharusnya.
Tapi
apa yang bisa dilakukan oleh seorang manusia, yang terjebak dalam
ketidakseimbangan? Dengan perbandingan yang jomplang, menyisakan sedikit
peluang?
Hanyalah
mencoba yang bisa Ia coba. Selagi jiwa dan raganya masih sepakat dengan jalan
pikirannya.
Namun,
untuk yang kesekian kalinya, Ia jatuh lagi. Tiap hari berganti, Ia jatuh lebih
keras lagi.
Ia
mulai ketakutan. Dari dalam jiwanya menerobos keluar rantai-rantai kecemasan.
Melilit tubuhnya, mencekik lehernya. Ia tidak dapat bernafas dengan sempurna.
Ketakutannya,
menjadi bentuk yang nyata. Meski sungguh, jika dilihat dengan mata telanjang, tidak
ada apa-apa di sana. Namun, Ia tetap takut.
Ditambah
gelap yang melahap hampir seluruh ruangan, Ia tidak akan pernah tenang.
Bersamanya
di sana, sepuluh juta pikiran memenuhi kepalanya. Menyumbat arus komunikasi
antara raga dan sang pengendalinya.
Dibandingkan
sebuah kendi yang terbuat dari tanah liat, Ia merasa Ialah yang lebih mudah
terpecah belah. Lebih retak dari dinding-dinding disekitarnya. Lebih rentan
hancur, dari apa yang dipijaknya.
.
Dari
dalam gelap, Ia melihat cahaya yang lain dari yang biasanya. Hangatnya tetap
sama, tapi tempat kedatangannya yang berbeda. Sebuah retakan kecil dari dinding
disekitarnya. Mempersilakan cahaya masuk dari luar, menyinari sedikit ke dalam.
Semua jatuhnya ternyata,
tidak sia-sia. Badannya yang terus-menerus menghantam dasar mulai membuat
tempat tersebut menyerah. Mungkin ini hasil dari tekadnya, atau mungkin
keputusasannya.
Yang
jelas, Ia melihat kesempatan kedua.
Lebih
dari itu, bukan hanya cahaya yang masuk menyapanya. Melainkan juga suara merdu
dari balik dinding tempatnya berada.
Di
sana Ia, dengan gigih menggedor dinding dengan lebih kuat. Memperlebar jalan
masuknya ke dalam. Seorang perempuan yang datang membawa kehangatan, tidak pernah
sedikitpun terlintas di pikirannya.
Semesta
dengan skenario yang tidak bisa diterka. Bahkan sampai pada akhir cerita.