Telah Retak Dengan Sempurna

Agustus 21, 2019

Seperti sedang berada di dalam sebuah kendi. Dengan permukaan licin, serta cahaya yang minim. Satu pintu masuk, yang juga merupakan pintu keluar.

Ada di atas sana. Apa yang tengah dikejar, Apa yang ingin diraih, Apa yang harus dimiliki, semuanya menunggu di atas sana. Rasanya sungguh dekat.

Namun nyatanya masih sangat jauh.

Photo by Daniel Tafjord from Unsplash



Lalu Ia jatuh, ketika sedang melompat sekuat tenaga. Menghantam dasar dengan kasar. Membuat seluruh ruangan bergetar.

Untuk sebuah percobaan yang sia-sia, Ia telah jatuh dari jarak yang terlalu tinggi. Apalagi jika sudah dilakukan berkali-kali. Dua kali lebih bodoh dari yang seharusnya.

Tapi apa yang bisa dilakukan oleh seorang manusia, yang terjebak dalam ketidakseimbangan? Dengan perbandingan yang jomplang, menyisakan sedikit peluang?

Hanyalah mencoba yang bisa Ia coba. Selagi jiwa dan raganya masih sepakat dengan jalan pikirannya.

Namun, untuk yang kesekian kalinya, Ia jatuh lagi. Tiap hari berganti, Ia jatuh lebih keras lagi.

Ia mulai ketakutan. Dari dalam jiwanya menerobos keluar rantai-rantai kecemasan. Melilit tubuhnya, mencekik lehernya. Ia tidak dapat bernafas dengan sempurna.

Ketakutannya, menjadi bentuk yang nyata. Meski sungguh, jika dilihat dengan mata telanjang, tidak ada apa-apa di sana. Namun, Ia tetap takut.

Ditambah gelap yang melahap hampir seluruh ruangan, Ia tidak akan pernah tenang.

Bersamanya di sana, sepuluh juta pikiran memenuhi kepalanya. Menyumbat arus komunikasi antara raga dan sang pengendalinya.

Dibandingkan sebuah kendi yang terbuat dari tanah liat, Ia merasa Ialah yang lebih mudah terpecah belah. Lebih retak dari dinding-dinding disekitarnya. Lebih rentan hancur, dari apa yang dipijaknya.

.

Dari dalam gelap, Ia melihat cahaya yang lain dari yang biasanya. Hangatnya tetap sama, tapi tempat kedatangannya yang berbeda. Sebuah retakan kecil dari dinding disekitarnya. Mempersilakan cahaya masuk dari luar, menyinari sedikit ke dalam.

Semua jatuhnya ternyata, tidak sia-sia. Badannya yang terus-menerus menghantam dasar mulai membuat tempat tersebut menyerah. Mungkin ini hasil dari tekadnya, atau mungkin keputusasannya.

Yang jelas, Ia melihat kesempatan kedua.

Lebih dari itu, bukan hanya cahaya yang masuk menyapanya. Melainkan juga suara merdu dari balik dinding tempatnya berada.

Di sana Ia, dengan gigih menggedor dinding dengan lebih kuat. Memperlebar jalan masuknya ke dalam. Seorang perempuan yang datang membawa kehangatan, tidak pernah sedikitpun terlintas di pikirannya.

Semesta dengan skenario yang tidak bisa diterka. Bahkan sampai pada akhir cerita.

You Might Also Like

0 Komentar