Dengar.
Mas-mas tukang nasi goreng mengayun sodet hingga buyar nasi di wajan.
Beberapa butir nasi gugur berjatuhan. Sisanya menari dengan sambal cabai
sembilan, dan berbagai bumbu racikan.
Bulan, malam itu telah disabit. Entah salah apa dia sebelumnya.
Photo by Jack Chen on Unsplash |
Kita
sering salah kaprah, mengenai ekspektasi, dan efek sampingnya yang bukan-bukan.
Bersyukurlah kau yang sekarang merasa baik-baik saja. Tunggu sampai situasi
jadi memberikan beban yang berlebihan. Barulah kita mengkonsumsi ekspektasi
layaknya painkiller, atau pereda rasa nyeri.
Nyeri
dari lebam yang kita dapat akibat bertahan hidup. Belum ditambah luka bakar
rasa takut, dan baret dari ragu-ragu. Semuanya secara bersamaan terasa sangat
ngilu.
Ekspektasi
dan reaksi kimianya, dapat meredakan rasa tersebut. Namun bersamanya datang efek samping. Dan yang paling mengganggu kinerja tubuh merupakan, rasa kecewa.
Mbak-mbak
sosialita yang tinggal di Apartemen lantai ke-2000 bilang, “Enggak apa-apa
berekspektasi tinggi, sayang.” Remaja tanggung dengan bulu ketek malu-malu,
bergidik. “Asal kamu tahu cara bersikap, kalau ekspektasimu enggak kesampaian.”
Lanjutnya.
Mbak-mbak
tersebut membenarkan konsumsi ekspektasi yang teratur. Serta memberi wejangan
agar tetap tenang ketika efek samping dari ekspektasi mulai muncul ke
permukaan. Kalau dipikir berulang, tidak ada yang keliru dari ucapan tersebut.
Tapi,
apalah kita yang cuma seorang pelaut amatir? Membaca arah mata angin saja tidak
bisa, apalagi bersikap biasa saja waktu merasa kecewa. Bercanda ya? Pokoknya
kita tidak bisa.
Yang kita tahu, ekspektasi, seperti malam hari penuh
bintang tapi dengan bulan yang sabit. Padahal, yang sempurna itu yang purnama.
Yang bentuknya bulat, membagikan cahayanya sekuat tenaga.
Hanya kurang sedikit lagi, hanya kurang bulan yang
bulat saja. Tapi rasanya ada yang hilang sepenuhnya. Begitulah ekspektasi.
Tapi kalau dipikir lagi, salah apa bulan yang
disabit? Dasar manusia, inginnya yang selalu sempurna.
Lalu apa yang salah dari ekspektasi? Dasar manusia,
maunya yang pasti-pasti saja.
.
Daya tahan tubuh mulai menurun. Bukan hanya dari
kerasnya cuaca, tapi juga harapan yang sia-sia. Hingga mampet hidung kita,
berkali-kali menyeka yang turun tanpa sengaja.
Apa
perlu, Kita merasa kasihan dengan ekspektasi?
Bayangkan
Ia seekor hewan peliharaan. Berupa kucing misalnya. Yang kita temui dipinggir
jalan, kita beri makan, kita beri tempat tinggal yang nyaman. Hingga tumbuh
tanaman liar yang tidak beraturan bernama, “Perasaan Sayang.” Bersamanya datang
puluhan ribu hama, yang menyerupai sebuah ekspektasi.
Lalu
seketika, kita menginginkan hal yang tidak wajar. Dari mahluk nan lucu yang
katanya kita, “Sayang.”
“Hei,
coba kau bisa memanjat menara Eiffel
dan mengibarkan bendera perdamaian.” “Eh, kayanya keren deh, kalo kamu jadi Astronaut Kucing Pertama di Dunia.”
Atau, “Sayang, bisa tidak kau memberikan hal yang sama, seperti yang telah Aku
berikan kepadamu sebelumnya?”
Ya
tidak begitu, cara mainnya. Bumi tidak berputar pada poros yang Kita sebut, "Diri Sendiri." Kehidupan juga begitu.
Entah seberapa banyak pengandaian mengenai ekspektasi dapat yang dibuat, Ia akan tetap ada. Menjadi semacam enigma, atau teka-teki yang jawabannya bisa saja benar, tapi belum berarti salah. Begitupun sebaliknya.