Mengendarai Ombak, Melakukan Akrobat

Januari 13, 2020

Nenek Moyang, dulu adalah seorang pelaut. Namun generasinya sekarang, kebanyakan adalah seorang penakut. 

Tidak. Bukan berarti tidak pernah berjuang.

Pada samudra yang buas, Nenek Moyang berpetualang. Sedang generasinya sekarang, kebingungan mencari jalan pulang.

Tidak. Bukan berarti tidak pernah melakukan perjalanan.

Photo by Jeremy Bishop on Unsplash

Ombak ganas sesekali menghantam kapal di atas lautan kehidupan seseorang. Ia berbentuk masalah-masalah, kekeliruan, ketakutan, dan hal-hal buruk lainnya. Menggoyangkan seluruh kapal, membuat isinya berantakan.

Ombak-ombak tersebut bukannya datang tanpa peringatan. Dari kejauhan, kapten kapal telah melihat adanya perbedaan gelombang. Kemudian disusul dengan perintah kepada seluruh anak buah kapal untuk mempersiapkan diri, beberapa saat lagi akan terjadi benturan.

Setelahnya adalah kepasrahan. Apakah kapal yang dinaiki dapat tetap bertahan? Jawabannya ada pada orang-orang yang selamat, atau dibawa tenggelam di kedalaman.

“Laut yang mudah, tidak membentuk pelaut yang handal.” Kalimat dari pelaut tua yang berpengalaman.

Seseorang dapat menyatakan keadaan baik-baik saja, atau tidak baik-baik saja, setelah melewati apa yang ada di hadapannya. Seseorang dapat memperbaiki apa yang rusak, setelah memberanikan diri berjalan kedepan.

Apa yang dapat dilihat jika memilih memberhentikan perjalanan? Membentur ombak, tidak percuma kan?

Pelaut yang handal meliuk-liuk di atas kapal. Memanjat tiang semudah berenang. Terjun ke laut dengan keindahan. Tapi, tidak datang dengan nilai yang murah.

Semuanya berlayar melewati arus pengalaman. Dari damainya gelombang di pesisir pantai, dekat dengan rumah. Hingga ombak raksasa yang melahap lambung kapal. Mendapatkan bekas luka sebagai hadiah perjalanan.

Para pelaut yang handal telah merasakan berbagai macam lautan. Tetapi kenyataan tersebut tidak menghalangi mereka untuk kembali pergi berpetualang.

.

Kita sekarang, adalah nahkoda dari kapal yang tidak kita buat sendiri. Dasar dan kerangkanya telah ditentukan beberapa kali. Barulah pada pelayaran yang kesekian, Kita memegang kendali.

Maka, tidak apa sedikit menyalahkan keadaan. Realitanya datang dengan jawaban. Terutama untuk mereka-mereka yang kerap kali menjatuhkan. 

Tidak ada yang benar-benar memulai perjalanan sendirian.

Meski begitu, mengarungi lautan seharusnya tidak perlu banyak alasan. Ketika telah berada di atas samudra, semuanya menjadi setara.

Kita mungkin kurang beradaptasi. Kurang menekuk sudut-sudut tubuh, membengkokan sendi-sendi. Kurang lihai membaca angin, kurang percaya diri memegang kemudi.

Mohon maaf, Nenek Moyang. Lautannya sekarang berbeda, meski ganasnya tetap sama. Memecahkan kode-kode kehidupan, bisa dibilang mirip seperti membaca rasi bintang. Kami juga tengah mencari jalan pulang.

Kalau ditelusuri lebih dalam, pastinya terdapat cerita tentang Nenek Moyang yang tersesat. Nenek Moyang yang tidak jadi berpetualang, Nenek Moyang yang kebingungan. Mengingat banyaknya cerita-cerita yang telah diutarakan.

Jadi tidak apa bukan? Petualangan, kan tetap petualangan?

Pada akhir perjalanan, Kami juga akan dikenal sebagai pelaut. Meski tidak sehebat apa yang telah Nenek Moyang sebut.

You Might Also Like

2 Komentar

  1. Duh, bagus banget ini tulisannya. Salam kenal yaa. Baru pertama kali main ke sini deh. \(w)/

    BalasHapus
    Balasan
    1. Wah ada Senpai! Makasih ya bang udah main-main ke sini!

      Hapus