Kebebasan untuk
menentukan bagaimana masa depan, merupakan hak teristimewa. Hanyalah
orang-orang terpilih, dengan cerita khusus yang telah ditulis demikian.
Beberapa di antara
kita harus melaju di atas sebuah rel yang sudah ada sebelumnya. Kecepatan,
tujuan, kelokan, teratur. Diatur. Tanpa adanya kesempatan menentukan.
Dibawanya di dalam
gerbong, peti-peti kayu penuh harapan. Dari orang-orang yang mengira bahwa,
yang terbaik ya memang apa yang sudah ditentukan.
Photo By Deglee Degi on Unsplash |
Mari membayangkan ‘masa
depan’, sebagai sebuah hutan belantara. Penuh dengan pepohonan menjulang, dan suara-suara
bising para penghuni hutan.
Seekor monyet memberitahu
orang-orang bagaimana cara hidup yang seharusnya. Burung jalak bersahutan
saling membenarkan. Ular yang dengan liciknya menjerumuskan siapapun jatuh ke
jurang.
Kita, petualang. Atau
lebih tepatnya, manusia-manusia yang hilang. Ditelan lebatnya dedaunan dan
keingintahuan.
Ujung yang tidak
terlihat, menyimpan banyak misteri. Dari bagian hutan satu dengan bagian hutan lainnya
berbeda. Mereka yang tidak mempunyai kesiapan hati, sudah pasti habis
ditelannnya.
Meski menyeramkan,
keberadaan belantara ini penting. Siapapun harus melewatinya. Ia rintangan,
sekaligus bagian dari proses perjalanan.
Di dalamnya,
seseorang bisa menemukan. Atau berakhir ditemukan.
Beberapa ditakdirkan
untuk keluar dari hutan dengan selamat. Meski penuh luka, mereka berhasil
menemukan sebuah jawaban. Namun pada waktu yang bersamaan, beberapa yang lain
ditakdirkan untuk berhenti di tengah jalan.
Sudahlah penuh luka,
tidak menemukan apa-apa pula.
Berawal dari garis
mulai yang sama. Kemudian berpisah di persimpangan. Beberapa terpaksa tidak melanjutkan.
Dalam kepasrahan,
mereka melangkahkan kaki memutar balik kembali ke jalan utama. Meronta hatinya,
kebingungan menyalahkan siapa. Ini bukan akhir yang seharusnya.
Mereka yang selamat, merayakan
keberhasilan. “Kemenangan bersama orang-orang yang pantang menyerah!” Serunya.
Sorak-sorai terdengar ke seluruh penjuru hutan, hingga ke telinga Mereka yang sedang
dalam perjalanan pulang.
Di dalam hatinya
menggerutu. Kesal. Karena semua seruan itu benar.
.
Proses menerima kenyataan
memerlukan banyak waktu. Realita kehidupan yang dengan penuh kasih sayang, akan
membangunkan orang-orang dari tidurnya. Sampai akhirnya kesadaran diri untuk setuju,
inilah yang harus dijalankan.
Menari-narilah
setelahnya. Karena, ya mau apa? Tertawalah sepuasnya. Karena, ya bisa apa? Menangislah
sejadi-jadinya. Karena, ya sudahlah ya?
Sekarang, kan jadi
tahu bisa apa. Batasnya sampai di mana.
Bergembiralah. Karena
ternyata, salah satu kekuatanmu adalah kelapangan dada. Yang mana, hanya
segelintir manusia di muka bumi yang memilikinya.
Tidak ada yang salah. Malah
terimakasih telah mencoba. Mana ada yang tahu, akan jadi seperti apa
perjalanannya.